Jakarta, Narasnews.com - PT Pertamina (Persero) dan PT Bukit Asam Tbk (PTBA) menandatangani Perjanjian Prinsip (principal agreement) pembentukan perusahaan patungan (joint venture/JV) untuk hilirisasi batu bara di mulut tambang Bukit Asam di Peranap, Riau.
Nantinya, hilirisasi batu bara dengan skema gasifikasi itu bisa menghasilkan synthesis gas (syngas) hingga Dimethyl Eter (DME) yang bisa mensubstitusi Liquified Petroleum Gas (LPG/elpiji) rumah tangga.
Ilustrasi batu bara. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono). |
Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno mengungkapkan saat ini sekitar 70 persen elpiji masih diimpor. Dengan hilirisasi, ke depan,Pertamina dapat memangkas impor elpiji dan mengurangi defisit neraca dagang dari minyak dan gas (migas).
"Jika bisa pakai 100 persen DME, ke depan kita tidak perlu impor," ujarnya usai menghadiri penandatanganan Perjanjian Prinsip Perusahaan Joint Venture untuk Proyek Gasifikasi Batu bara ke DME antara Pertamina dan PT Bukit Asam di Hotel Grand Hyatt Jakarta, Rabu (16/1).
Rini mengungkapkan JV akan bergerak di bidang bisnis pengolahan batu bara dan produk turunan batu bara. Dalam JV tersebut, PTBA akan memasok batu bara kalori rendah yang banyak dihasilkan oleh tambang di Indonesia untuk diolah oleh Pertamina menjadi gas.
Terkait teknologi gasifikasi batu bara, kedua perusahaan menggandeng perusahaan asal AS Air Products and Chemical Inc. Nantinya, jika terealisasi, proyek gasifikasi batu bara akan menghasilkan 1,4 juta ton DME per tahun dengan kebutuhan batu bara 9,2 juta ton per tahun.
Melihat prospek tersebut, Rini menargetkan kedua perusahaan pelat merah itu untuk bisa merealisasikan peletakan batu pertama proyek gasifikasi batu bara di Peranap pada Maret mendatang.
"Mereka (Pertamina dan PTBA) mintanya akhir Maret 2019, saya mintanya awal Maret 2019," tegasnya.
Di tempat yang sama, Direktur Utama PTBA Arviyan Arifin mengungkapkan hilirisasi yang dilakukan PTBA ini akan diperkuat dengan sumber daya batu bara sebesar 8,3 miliar ton dan total cadangan batu bara sebesar 3,3 miliar ton. Saat ini, ketiga perusahaan tengah melakukan studi kelayakan (feasibility study/FS) bisnis dan komersial.
"Investasi terkait sama FS. Jadi belum bisa diungkapkan. Porsi saham juga belum (bisa diungkapkan). Masih kami bahas. Semua akan diputuskan setelah FS selesai," ucapnya saat dikutip dari Cnn.
Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati menerangkan jika terealisasi, Pertamina bisa mematok harga gas DME lebih murah dari LPG rumah tangga. Sehingga, akan menguntungkan konsumen. Namun, proses peralihan harus hati-hati karena kompor yang digunakan perlu dilakukan sedikit penyesuaian.
Terkait harga jual, Nicke masih menunggu hasil studi. Kendati demikian, Nicke menjanjikan harga gas DME akan lebih murah dari LPG. "Harga lebih murah karena Pertamina tidak perlu impor, " ujarnya.
Selain itu, Pertamina juga bisa mengurangi beban neraca perdagangan migas. Tahun lalu, Badan Pusat Statistik mencatat defisit neraca migas bengkak 44,7 persen dari US$8,57 miliar pada 2017 menjadi US$12,4 miliar. Sementara, Nicke menyebutkan, pada 2017 Indonesia mengonsumsi sekitar 7,11 juta ton LPG di mana 5,3 juta ton LPG di antaranya masih diimpor. (sfr/bir/***)
0 Komentar